Scraps In Scraps Out

This is my Blog. There are many like it but this one is mine. My Blog is my best friend. It is my life. I must master it as I must master my life. Without me my Blog is useless. Without my Blog, I am useless (Jarhead)

Friday, March 21, 2008

Kuntilanak 3

Jakarta, 2030. Di sebuah cineplex gaul cukup ternama. Para pemuda-pemudi dengan gaya berpakaian mutakhir mengantri tiket untuk menonton film bersama pacar, sahabat, teman, target pdkt, atau sendirian (untuk yang terakhir itu sering saya lakukan, poor me). Setelah mendapatkan tiket yang diinginkan, mereka membeli camilan dan minuman secukupnya (tentu saja harus dari stall snack bar yang disediakan). Tunggu tunggu, kenapa mereka tidak langsung masuk ke studio yang dituju tapi malah beramai-ramai ke semacam deposit counter yang ada di pojokan terlebih dahulu ? Bentuknya seperti counter penitipan barang kalau kita mau masuk toko buku. Oh ternyata itu adalah tempat penitipan otak sebelum mereka masuk ke studio, yang nanti bisa diambil kembali begitu film selesai. Iya betul, pada tahun segitu kita diwajibkan menitipkan otak di sebuah counter deposit sebelum menonton film lokal (lokal = produksi Indihe Brothers). Hal ini untuk menghindari penyakit otak akut yang parah efek samping akibat menonton film-film sampah lokal yang sayangnya merajai semua jaringan bioskop di Indonesia. Sedihnya, pada waktu itu perfilman lokal sudah dikuasai oleh sekelompok Indihe Brothers dengan modal kuat karena sukses menipu orang Indonesia selama bertahun-tahun terhitung sejak awal tahun 2000an dengan trik : film itu harus dengan judul yang bombastis, hantu lokal yang fantastis, tema vulgar seks yang bikin penasaran atau malah film yang dibungkus nuansa Islami sekalian. Itu saja sudah cukup, kerja paling penting dalam membuat film adalah mencari judul dan tema yang bombastis. Produksi, alur cerita dan pemainnya dikerjakan ala sinetron striping, tidak jadi masalah. Toh nantinya orang juga sudah terlanjur membeli tiket, tidak perduli mereka puas, speechless, cacat permanen atau jadi bego para Indihe Brothers itu tidak peduli. Karena itu, pemerintah berinisiatif untuk membuat peraturan dimana setiap bioskop harus menyediakan counter deposit guna penitipan otak sebelum film dimulai. Hal ini tidak hanya untuk melindungi otak masyarakat dari kerusakan akut tapi juga agar selama di dalam bioskop para penonton tidak bisa memakai logika sehingga dapat menonton dengan tenang lalu mengeluarkan emosi yang sesuai. Indihe Brothers itu, benar-benar rajatega.

Prediksi ini gue buat setelah menonton Kuntilanak 3, persis sebulan setelah menonton XL. Ok, ini bukan perkara kapok sambel atau gue yang dogol salah sendiri berani ngambil resiko nonton film produksi Indihe Brothers itu. Habis gimana, menjadi lajang (lajang = istilah single dengan nuansa lebih elit dan terhormat, jomblo = istilah single yang sounds so phatetic and desperate, jalang = istilah single yang saking sudah begitu desperado membuat dia selalu haus akan wanita baik bayar atau pun suka sama suka) di ibukota membuat gue jadi murahan, siapa aja yang ngajak pergi pasti gue iyain. Begitu juga malam minggu kemarin. Tau-tau aja dengan kuputusan sepihak, tiket udah langsung dibeliin sementara gue yang masih on the way tidak punya suara voting apapun. Nasib. Kuntilanak 3 alih-alih jadi film horor yang menakuti-nakuti penonton justru sukses bikin gue ngakak. Banyak banget scene-scene dengan logika asal yang akhirnya jadi lucu menghibur. Coba bayangin : lo lagi di tengah-tengah hutan yang katanya perawan, sudah malam-malam pula, lalu ada suara bayi nangis dan lo malah memutuskan untuk mencari sumber suara bayi nangis tersebut, tidak lupa harus berpencar sendiri-sendiri. Atau yang ini : ada cewek di tengah hutan dan sudah larut malam, lo gak merasa aneh dan malah lo hampiri lalu lo sapa akrab ”mbak mbak, sedang apa mbak di hutan malem-malem ?” (sekalian aja munculin Brontosaurus di tengah hutan Indonesia malem-malem pasti juga bakal disamperin dan diberi pertanyaan yang sama). Masih ada lagi : lo menemukan kompleks menyeramkan dimana ada mayat membusuk tergantung terbalik dan bangkai sapi dengan isi perut terburai berisi bayi kuntilanak tapi lo malah memutuskan “baiklah, ini tempat yang cocok. Kita bermalam sekali lagi disini malam ini” dan tak lupa juga lo ambil bayi kuntilanak tersebut untuk dirawat, "saya akan rawat bayi ini, habisnya kasihan" kata lo. Yang terakhir : lo mergokin kuntilanak lagi makan bocah-bocah di tengah hutan dan dengan pintarnya lo buru-buru ngambil kamera (memang sih, punya avatar foto bareng kuntilanak di facebook dan friendster pasti keren) bukannya malah lari kabur. Menonton memang jangan terlalu memakai logika, lah wong namanya juga film. Tapi dialog-dialog dalam situasi-situasi yang gak nyambung benar-benar membuat Kuntilanak 3 berantakan, jadi serasa nonton acara sketsa semodel-model Extravaganza di Trans-TV atau Jojon show di AN-TV : ada tokoh-tokoh setan tapi lucu dan kocak. Gue sama sekali tidak meragukan Rizal Mantovani, efek-efek yang dia tampilkan bolehlah untuk ukuran film lokal. Tapi tolong dong ceritanya. Amat terlalu jelas tampak dipaksakan menggeber 3 film dalam 1 tahun demi bisa dikategorikan trilogi, trilogy is obviously something sounds cool. GOD bless Indihe Brothers, semoga lekas diberi hidayah.


Labels:

Monday, March 17, 2008

Global Warming : On Sale

Global Warming sedang ngetrend, bahkan memakai kaos bertuliskan jargon-jargon Global Warming bisa meningkatkan kadar ke-eksis-an seseorang. Apa pun yang dilabeli Global Warming sekarang pasti laku terjual, mulai dari celana dalam sampai tissue buat buat ingus, mulai dari pentas musik sampe sebuah international conference.

Sayangnya, semua itu gak lebih baik seperti trend memakai kafiyeh gaul di kalangan anak muda masa kini, yang artinya kamu akan dianggap kampungan ketinggalan jaman kalo gak ikut bereuforia bersama. Iya, pertunjukan peduli Global Warming itu lebih menjadi semacam fashion trendy dibanding gerakan tulus mau berkorban yang benar-benar peduli akan Global Warming itu sendiri. Berkorban menjadi kata yang sangat penting disini. Misal, saya agak heran ketika melihat poster sebuah event acara musik dan bazaar dengan tema Tribute to Forest. Bisa jadi ini adalah apatis sinisme saya belaka, tapi apa kontribusi sebuah acara hura-hura bising yang akan didatangi pemuda-pemudi dengan kendaraan bermotor pribadinya masing-masing terhadap perbaikan hutan Indonesia ? Ironis. Apa hubungan liputan infotainment artis-artis sinetron muda yang sedang menanam pohon seperti sebuah drama ? Cari muka. Apa pentingnya seminar Global Warming di ballroom-ballroom hotel mewah dingin ber-AC ratusan watt ? Lucu. Apa gunanya memforward email-email canggih sophisticated peduli Global Warming ke belasan milis yang kamu punya hanya untuk tampak cerdas ? Dogol.

Peduli Global Warming itu adalah bagaimana kamu mau berkorban naik kendaraan umum kalo cuman pergi sendirian, mau bersusah payah ngantri busway yang super kejam untuk berangkat ke kantor, mau ngurangin pemakaian AC, ngebiasain bawa plastik sendiri kalo belanja ke supermarket dan pake kertas seperlunya saja (sukur-sukur punya tablet PC jadi softcopy semua, yeah rite T_T). Seandainya saja semua orang mau mencoba berkorban dan membiasakan dirinya ke sebuah behavior yang benar-benar ada kontribusinya ke lingkungan. Itu jauh lebih membantu dibandingkan dengan menjadikan Global Warming® menjadi simbol baru sekelas Nike®, Zara® atau Fred Perry®, sekadar label penanda status belaka. Global Warming memang adalah sesuatu hal yang besar tapi sebenarnya tidak perlu action yang besar dan heboh kok untuk mengatasainya. Asalkan kita mau sedikit saja bersusah.

Labels:

Wednesday, March 05, 2008

Amak Pulang

Biasanya beliau selalu datang
Ganggu aku yang sibuk dengan puisipuisi-ku

"tok tok tok !"
Lalu pertanyaan membosankan
"Alah sholat, alah makan ? makanlah dulu"
sambil diberikan senyum teduh yang menyenangkan
lima menit pasti beliau kembali dan mengulang
"Alah sholat, alah makan ? makanlah dulu"
masih senyum yang sama
persis
lima menit dan kemudian
"Alah sholat, alah makan ? makanlah dulu"
selalu seperti itu dan begitu seterusnya

Uh ! kadang bagiku itu amat sangat mengganggu.

Tapi kini tidak akan ada lagi
Karena Amak baru saja pulang
sekitar pagi buta tadi
Katanya:
"Mau sembah sujud persis dimuka Tuhan"

Amak, selamat jalan ya !



*) amak is equal to the mother of my father (08/03/22 - 17/02/05)

Labels:

Monday, March 03, 2008

Pak Urip, Ganbatte !

Namanya sih keren, Urip Tri Gunawan. Manusia yang segenap hidupnya akan berguna untuk tiga hal, kira-kira sih begitu kali ya arti namanya. Gue gak tau tiga disini merujuk ke mana dan ke siapa. Yang jelas, orang tuanya pasti memberikan nama itu dengan maksud dan makna yang baik. Misal, tiga hal merujuk ke berguna untuk alam, manusia dan tuhan, sebagaimana layaknya relationship paling basic ajaran apa pun di bumi ini. Tapi tidak untuk pak Urip. Sepertinya pak Urip mengartikan lain, tiga hal-nya pak Urip merujuk ke duit, duit dan duit. Gak tanggung-tanggung, si pak Urip ini tertangkap tangan menerima uang sogokan 6 M. Agak lucu dan menghibur ketika dia (maaf pak Urip saya tidak memakai kata ganti ‘beliau’ untuk anda) berkelit dengan bilang kotak dus di mobilnya berisi coklat, lalu sekenanya diralat ketika setelah dicek isinya bertumpuk-tumpuk dolar dengan menjelaskan itu uang transaksi bisnis sampingan dia jual beli permata. Biasanya orang panik emang suka bego, bohongnya suka gak kreatif banget-bangetan. Dengan memiliki bisnis sampingan jual beli permata beromset 6 M dalam semalam, dia gak punya alasan untuk tetap bertahan jadi PNS di kejaksaan dengan gaji bulanan beberapa juta. Orang panik emang suka lucu deh.

Kasus BLBI bukanlah kasus kejahatan biasa. Coba, apa ada yang lebih jahat dari para obligor dana BLBI itu ? pemerkosa nenek-nenek ? maling jemuran ? sopir metromini ? gubernur DKI ? atau teroris bom Bali ? Um um um. Begini kondisinya, katakanlah kita yang punya bisnis sendiri, kita nikmatin sendiri, kita kongkalikong sendiri tapi ketika bangkrut karena krisis kenapa harus uang rakyat yang dipakai untuk bantu mereka ? Masih bolehlah kalau memang dana itu dipakai untuk restrukturisasi, bagaimana pun juga bisnis mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang banyak. Tapi yang ada itu dana malah disikat kabur. Suwek mblegedhes tenan. Jumlahnya triliyunan pula. Agak aneh makanya ketika bisa mengembalikan dan mereka bisa diampunin begitu saja dengan kebijakan Release and Discharge yang dikeluarkan pemerintahan Megawati. Maksud gue, maling jemuran pakaian dalam ketika ngebalikin jemuran juga tetep digebukin massa kan ? pemerkosa nenek meski bisa ngemodalin operasi rekondisi selaput dara juga tetep aja bersalah kan ? Tapi hukum itu tidak berlaku untuk kriminal elit macam obligor BLBI. Untuk mereka ada sejuta maaf yang selalu disiapkan. Untuk kejahatan yang super rajatega itu para Jaksa republik ini mendadak jadi seperti kumpulan mahasiswa hukum di semester pertama kuliah, ngowoh gak bisa nemuin pasal-pasal penjerat yang tepat. Entah pura-pura entah emang aslinya gitu.

Gue pernah berteori kalau pejabat korup, cukong illegal loging itu jauh-jauh-jauh-jauh lebih kejam dari pada teroris bom Bali. Mereka ngebunuh rakyat pelan-pelan, anggaran disikat sehingga jalan raya jadi gembel karena proyek dimanipulasi, minyak tanah jadi susah, harga gabah lokal meluncur deras, banjir bandang dimana-mana. Mereka orang munafik yang berlagak terhormat. Masih lebih mending kelompok teroris itu. Teroris atas nama Tuhan itu adalah orang-orang autis yang hidup di dunianya dengan percaya kalau semua bule harus mati dibom. Jadi no wonder, karena emang ada yang salah sama otak mereka. Kondisi ini beda dengan pejabat-pejabat korup. Mending kalo korupnya malu-malu, lah ini gak tanggung-tanggung. Memang sih gak ada negara di bumi ini yang bebas korup, tapi ya mbok sedikit aja dan ‘halus’ mainnya jangan 'kasar'. Kalau dari perspektif lain, sebenarnya 6 M itu kurang, jumlah itu gak ada artinya. Pak Urip cuman dapet 6 M. Bukankah 1 T itu sama 1000 M. Rasanya seperti gue punya duit 1 Juta dan cuman ngeluarin 1000 perak buat bayar parkir pas ngambil ATM, sama sekali gak ada artinya. Gue percaya pak Urip matematika-nya masih jago dan dia pasti ogah kalo cuman dikasih ‘seceng’. Jadi mungkin gak kalau 6 M itu pembayaran kesekian atau pembayaran terakhir ? Atau bisa saja 6 M itu belum selesai, hampir mustahil kalau pak Urip bermain sendiri. Semoga pak Urip berani jadi whistle blower di persidangan. Jadi doa orang tuanya dalam memberi nama yang bagus tidak akan sia-sia, semoga pak Urip Tri Gunawan benar-benar bisa jadi ‘gunawan’ untuk orang banyak. Pak Urip adalah jaksa negara yang menuntut hukuman mati buat Amrozi. Sekarang, kondisinya berbalik. Gue rasa rakyat Indonesia berhak menuntut hal yang sama untuk pak Urip. Kecuali, kalau dia mau jadi whistle blower. Pak Urip, tetap semangat !