Scraps In Scraps Out

This is my Blog. There are many like it but this one is mine. My Blog is my best friend. It is my life. I must master it as I must master my life. Without me my Blog is useless. Without my Blog, I am useless (Jarhead)

Friday, November 30, 2007

The Gorgeousless Traveller (Paris : The Only Place on Earth Where Renata Looks So Ordinary)





















Gue tidur pules kayak bayi sepanjang perjalanan dari Amsterdam CS sampai Gare du Nord, tapi tak apalah toh ini perjalanan malam jadi gak akan ada yang bisa diliat juga. Yang jelas space muffin di Amsterdam memberikan gue satu pelajaran berharga : sekali cupu gak usah sok preman deh dep T_T. Di Gare du Nord udah ada temen gue yang menjemput. Ummm benernya sih bukan temen juga karena dia itu adalah kakaknya pacarnya temen gue dan baru kenalan malam itu. Kita bakal numpang beberapa malam di kosan dia di daerah Ecole de Veterinaire, lumayan untuk penghematan beberapa Euro kami. Karena udah tengah malam kita gak mampir kemana-mana lagi, kecuali beli beberapa Donner Kebab buat dinner. Oiya di Paris kebanyakan penjual kebabnya dari Mediteran semacam Yunani dan Turki. Ini berbeda dengan di Manchester yang hampir bisa dipastikan penjualnya orang-orang keturunan Kurdi atau Irak. Donner Kebab mediteran - Shawarma istilah orang Turki dan Gyros bagi orang Yunani - sebenarnya sama aja sarua keneh cuman penyajian yang populer disini sedikit beda. Mereka memakai roti Pitta yang berkantung. Sebenarnya roti Pitta biasa yang digunting bagian ujungnya jadi ada space semacam kantung gitu, lalu daging Kebab dimasukin kedalam kantung tersebut, tidak seperti Donner Kebab di Manchester yang selalu di gulung semacam dari Pitta yang diameternya bisa sampai 30 cm (lo bisa mabok sekali makan Kebab segede gaban ini). Kareana itu gue lebih suka Kebab pocket model beginian, porsinya pas gak terlalu generous.
















Besoknya kami sengaja bangun pagi-pagi dan langsung pergi karena peraturan si ibu kos yang melarang anak kos memberikan tumpangan kecuali membayar 20 Euro permalam. Tapi jadi ada hikmahnya, karena tidak ada yang lebih seru daripada jalan pagi di sebuah kota yang asing buat lo, ngeliat kesibukan orang-orang, behaviour mereka, hal semacam ini adalah favorit gue setiap kali trip. Paris kotanya enak, rindang, gedung-gedungnya artistik di setiap detailnya dan yang jelas cewek cakep bertebaran dimana-mana dengan tipikal yang nyaris sama: muka tirus, tinggi sedengan, mata bagus, bodi langsing tapi gak papan penggilesan karena (mohon maaf nuwun sewu) toketnya cukup lumayan berisi (pernah nonton film dewasa Tarzan X ? nah yang jadi Jane di situ adalah tipikal cewek-cewek Paris hari itu). Gue jadi mahfum kenapa Mariana Renata pindah ke Indonesia karena ternyata semodel Mariana Renata bener-bener nyampah di sini, banyak aja ! Kami memulai raun-raun (Padang : jalan-jalan) dengan Metro pagi itu. Metro itu sebutan underground di Paris, berbeda dengan Tube di London dengan terowonganya yang sempit pas-pasan, terowongan Metro justru boros besar-besar dengan bentuk setengah lingkaran yang sempurna. Sebenarnya gak efisien tapi jadi lebih rapi dan kereta Metro relatif lebih legaan dibanding Tube yang sempit. Ini kota emang Artsy banget, bahkan semua iklan sepanjang lorong-lorong Metro diberi bingkai ala Renaissance. Herannya di setiap stasiun Metro susah kali nemuin eskalator, kebanyakan cuman tangga manual biasa. Mungkin karena itu bodi cewek-cewek perancis oke-oke, mereka terbiasa setiap hari kepaksa excercise naik turun tangga: pinggulnya pada jadi oi ^_^. Selama di dalam Metro muka gue campuran antara mupeng dan piktor ngeliat wanita-wanita karir, cewek-cewek sekolahan pun tante-tante yang berjubelan, sampai-sampai seandainya milih sambil merem pun gue mau. Wangi pula. Ya Tuhan kenapa dunia ini seringkali tidak adil. Dan sepanjang perjalanan gue malah asik berhayal ‘enak’ yang tidak-tidak, mumpung banyak bahan bos.
















Kata orang belum ke
Paris kalau belum ke Eifel, baiklah meskipun gue agak malas tapi anggap aja sebagai syarat. Karena masih pagi, sangat pagi malah jadi kami pun gak perlu bersusah-susah antri (siangnya antrian udah mengular kayak gabungan antrian Turbo Tour ditambah Arung Jeram kalau di Dufan, panjang gil gil). Di sekitar menara Eifel ada puluhan security patroli Keren ! Dasarnya gue emang Army Wanna Be jadi ngiler banget ngeliat rifle GIAT FAMAS G2 mereka, maunya sih foto-foto bareng tapi serem juga dan agak gengsi ntar keliatan kampung (meskipun emang kampung). Dari puncak menara Eifel kita bisa ngeliat sebagian besar kota Paris, jelas terlihat betapa rapinya kota ini lengkap dengan taman kotanya yang gede naujubile diseberang sungai Rhiene yang biru kehijau-hijauan. Jakarta jadi makin keliatan kampung besar, ndeso, rimba tak tertata setiap kali dibandingin dengan kota-kota di Eropa, kota-kota yang manusiawi dimana pejalan kaki adalah raja sedang orang-orang bermercy prioritas kesekian. Dari Eifel kami sengaja niat berjalan kaki buat ke Arc de Triomph, landmark lain kota Paris. Kami menyusuri Trocadero, salah satu daerah elit di Paris sebelum akhirnya sampai di Arc de Triomph, monumen peringatan pahlawan pada perang Napoleon itu. Kami sengaja bakalan jalan kaki terus hari itu, meski tiket Metro kami sudah yang terusan, tentu saja karena jalan kaki bakal bikin kita bisa ngerasain sebenar-benarnya suasana Paris. Dari Arc de Triomph kita menyusuri Champs Elysees, Orchard Road-nya Paris. Ada puluhan kafe yang digelar di trotoarnya yang selebar jalan Rasuna Said tapi rindang banyak pepohonan. Hanya sayang hampir semuanya rame parah karena pas itu emang lagi waktu lunch. Kebiasaan orang Perancis, mereka bisa menghabiskan dua jam hanya untuk lunch jadi bakalan buang waktu kalau kami ngotot nunggu seat kosong. Kami lewat Champs Elysees dalam rangka ke Louvre, museum dimana petunjuk awal di Novel Da Vinci Code. Museum ini gede parah, sehari pun gue rasa gak akan cukup buat khatamin semua sectionnya, karena itu seperti biasa kami cuman jadi banci foto mulai dari depan Piramid Louvre sampe lukisan Monalisa. Keliatan banget turis Asia-nya, kita sama sekali gak concern sama content museum tersebut: dikit-dikit foto dikit-dikit foto, najis ? emang sih. Dari Louvre kita masih keukeuh mau tetep berjalan kaki untuk ke Notre-Dame de Paris, katedral bergaya gothic tersohor itu. Di depan kompleks katedral, di dekat gerbang masuknya ini ada point zero, konon kalo kita nginjek titik itu kita pasti balik lagi ke Paris. Injek dulu ah sambil berdoa semoga lain waktu sama bini kesini >_<.
















Udah makin sore dan masuk Ashar mungkin, sebagai musafir kita gak sholat dari dzuhur karena emang sengaja mau dijama’ sama Ashar sekalian. Karena itu dari St-Michael Notre-Dame kita memutuskan ke Paris Islamic Centre di deket Place Monge, dari Peta itu adalah mesjid yang terdekat. Sebenarnya tempat itu masih bisa ditempuh dengan jalan kaki tapi gempor juga gak kerasa kita udah jalan cukup jauh mulai dari Eifel sampe Notre-Dame. Daerah jajahan Perancis kebanyakan di Afrika Utara, karena itu muslim disini kebanyakan dari Afrika Utara. Berbeda dengan UK yang dipenuhi orang Pakistan dan India, di Paris banyak banget orang Afrika Utara. Lucu deh, tempat sepatunya ada di dalam mesjid jadi di sepanjang dinding ada rak-rak kayu bakal naro sepatu. Efisien apa jorok ya, bau aja tuh sepatu-sepatu beraroma jempol sejajar sama kepala jamaah. Karena saat itu bulan puasa jadi mesjid lumayan penuh banyak orang yang sekalian mau berjamaah Maghrib sekalian nyari Iftar (Jawa : ta’jil). Bagi gue ini adalah indahnya Islam, dimana pun lo sholat, tata cara dan bacaannya selalu nyaris sama, gue bilang nyaris bukan persis. Dan kita selalu nganggep saudara, semakin aneh dan semakin stranger maka semakin lo dianggep sodara (karena kita satu-satunya Asia di mesjid itu), mereka ramahnya bukan main selalu ngeduluin kita pas distribusi Iftar. Kalau di Manchester saat Iftar kita biasanya ngambil makanan sendiri tapi disini gak lho, ada bapak-bapak afrika tua yang bagi-bagiin kurma, roti sampe susu. Dia muter-muter ngider sibuk distribusiin semua makanan itu sendirian. Masalahnya si bapak make tangan langsung aja gitu, duh kan jorok om ! tapi ya udahlah ya, niatnya kan baik, pokoknya bismillah aja. Paris Islamic Centre jadi tempat terakhir kami hari itu karena udah malam jadi kami harus segera balik ke Ecole de Veterinaire, selain kaki udah berasa mau copot mata gue juga udah pegel mupeng ngeliat 'Mariana Renata' di mana-mana.

Labels:

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

yah dep.. mupeng abis tuh!

6:54 PM  
Blogger om idep said...

untung pas kribo jadi gak keliatan mata gue merem melek...>_<

7:16 PM  
Anonymous Anonymous said...

udah ga kribo jadi ga ganteng deph.. hwak hwak.. :))

4:09 PM  

Post a Comment

<< Home