Scraps In Scraps Out

This is my Blog. There are many like it but this one is mine. My Blog is my best friend. It is my life. I must master it as I must master my life. Without me my Blog is useless. Without my Blog, I am useless (Jarhead)

Sunday, December 14, 2008

Love Like Rockets (AVA, 2007)

Waktu itu jam 11 malem ketika gue baca sms dari temen gue bilang kalo tiket AVA udah abis. Posisi gue kira-kira di Nagrek, baru pulang dari Jogja, masih tiga jam-an dari Jakarta. Brengsek. Bukan buat temen gue itu tapi buat gue yang selau nunda-nunda beli tiket dari beberapa minggu yang lalu.


















Ah tapi gue gak akan menyerah begitu saja, pagi harinya gue langsung googling semua tiket box seluruh Jakarta, mencari yang terdekat. Gue telponin satu demi satu, beberapa masih ada (sayangnya festival) tapi hampir sebagian besar sudah tutup : mereka bilang tiket box sudah buka jam 2 di Senayan, silahkan beli di tempat yang sudah disediakan. Tapi gue pengennya tribun bukan festival – selain umur toh AVA bukan musik untuk moshing dan bodysurfing – karena berdiri umpek-umpekan sepanjang show artinya kehilangan momen merem melek menikmati ambience Star of Betlehem (yang turn out gak dimainin malam itu, sigh). Puji Tuhan Alhamdulillah akhirnya gue dapet di bu Dibyo, agak ilegal karena si mas-mas minta ketemuan di luar gedung, dia propose 450 sedang gue bersikeras eat my ass I have got festival already. Akhirnya kami sepakat 385, harga normal. Yeay. Padahal gue juga udah niat tetap akan mengambil kalau dia ngotot gak mau lepas. I am the negotiator.

Gue memang menggemari Tom Delonge sebagaimana River Cuomo, Bernard Summer, Freddie Mercury pun Paul McCartney. For me they are prophets, semua lagu mereka adalah bagus. Sejak tahun 1995 masa-masa album Budha dan drummer Blink 182 masih Scott Raynor. Tidak peduli (bagi beberapa scene indie) dianggap mendengarkan band-band sell out berarti tidak memiliki selera yang bagus. Pola pikir yang aneh, gue heran dengan orang yang ingin out of crowd : begitu sebuah musik atau band indie menjadi sell out maka segera dicap memalukan kalau sampai suka, karena sudah pasaran, sudah gak eksklusif lagi. Padahal kalau mau benar-benar indie, mereka harusnya membeli album-album pop daerah semacam Trio Ambisi, Ajo Andre Upiak Kamek atau Danny Pelo. Dijamin itu semua musik daerah yang orisinil dengan semangat juang indie yang recording sendiri. Lagipula dengan menonton band-band sell out artinya akan banyak ABG bertebaran. Sukur-sukur berpakaian minim. Tidak ada yang dirugikan. Sejak maghrib gue sudah sampai di tennis indoor Senayan yang lumayan padat, mobil gue parkir diujung yang sudah dekat ke stadion, agak deg-degan karena ada pertandingan bola. May the force be with my car. Gue berjumpa dengan Renata dan Windy - sepupunya – yang secara baik hati mau bertukar tiket ke tribun jadi gue selamat batal jadi freak in a gig nonton konser sendirian. Kita langsung aja masuk biar bisa dapet tempat strategis. Di festival masih lengang, baru sekumpulan ABG-ABG yang udah – mungkin dari sore tadi – ngetekin berdiri persis di depan stage. Sedang tribun tengah sudah mulai penuh. Backdrop AVA adalah semacam bendera Amerika, untung Roy Suryo gak nonton kalau gak bisa-bisa dia ngadu lagi. Juga ada beberapa kain panjang di bentangkan di langit-langit yang jadi seperti stripe, sangat Amerika sekali. Kita menunggu sekitar setengah jaman. Ada Eno Netral, tampan ganteng. Sama ceweknya, yang biasa aja (gak penting, skip).

Akhirnya satu persatu personil AVA muncul, si Tom sempat pemanasan sebentar dengan pose yang aneh seperti mau aerobik. Dodol. Malam itu dibuka dengan Call to Arms, anthem AVA di trailler I-Empire. Seperti yang sudah gue duga vokal Tom memang jelek kalau live, suara dia yang quacky memang hanya cocok untuk recording. Tapi siapa yang peduli. Aksi Tom juga gak seperti yang gue bayangkan setiap kali mendengarkan AVA sambil mati lampu dan make headset kenceng-kenceng kalau lagi stres. Gue membayangkan Tom di AVA akan berbeda dengan Tom di Blink. Sama halnya ketika dia mendadak keluar dari Blink yang sedang di puncak karir. Ketika his egocentric to deliver messages through music seperti Lia Eden yang kesambet jin Tomang. Juga sebagaimana dia kepikiran memakai sound gitar delay, nationalist, konsep dan ambience yang berbeda betul dengan Blink. Gue membayangkan dia akan berdiri elegan kalem ketika menyanyikan Love Like Rockets, Secret Crowds atau pun Heaven. Tapi ternyata tidak, masih Tom yang sama, masih pose, aksi konyol dan celotehan kasar yang sama. Hanya bedanya tidak ada Mark Hoppus saat itu. Ketika jeda Tom bawain cover There Is-nya Box Car Racer sama Reckless Abandon-nya Blink. Past good old days Tom. Sayang David Keneddy tampak beberapa kali mengalami masalah, setelan efeknya suka hilang. Efek delay khas the Edge U2 seringkali gak begitu kedengeran. Satu persatu single-single AVA mengalir (tidak ada Star of Betlehem tentu saja, padahal mau dekat Natal ya). Di awal interaksi Tom sedikit banget, jeda lagu ke lagu cuman sebentar, tapi mulai mencair di tengah-tengah show. Tradisi we want more yang sebenarnya sudah basi : ya iyalah kalo konser udah selese itu lampu akan nyala terang benderang, kalo setelah goodbye Jakarta dan masih gelap itu mah keliatan banget. Akhirnya di tutup dengan Heaven, konser AVA berlangsung cepat sekali, hanya satu jam kurang lebih. Orang yang gak ngefans sama AVA pasti akan menganggap show malam itu sampah tapi bagi gue Tom Delonge will always be Tom. Just like Cuomo or McCartney. Tom, Mark, Travis dan semua side project mereka akan selalu gue tunggu. Semoga saja Java Musikindo bisa membawa Plus 44 untuk kesempatan berikutnya.


Labels:

5 Comments:

Blogger ovi siregar said...

Memang cewe nya eno netral sapa dep?
*ga penting* hehehe...
O iya, dan semoga Coldplay bakalan dateng juga yah...amiiiin....

11:34 PM  
Anonymous Anonymous said...

Bernard Summer, F. Mercury, McCartney? Ah si Om ini memang high taste ya? Loh... Aku yo salut karo mereka2 kok Om. Yeay...

Yup, semoga para Brit Warrior bisa dateng, semoga...

7:13 PM  
Blogger om idep said...

Ah sebenarnya tidak ada high taste itu, semua musik sama aja, ini tentang preference.

Buat gue, banyak band keren, tapi cuman segelintir saja yang Raja Midas. Itu beberapa diantara yang segelintir itu. Lagi-lagi, ini masalah subyektifitas, faktap dengan "ur taste is crap my taste is good".

3:27 AM  
Blogger melur said...

assalamualaikum oom.. lama ya kita tak bertemu ;))

7:48 PM  
Blogger om idep said...

Ah dik Melur the Wonderful. Iya lama sekali, tepat setahun ya lur sejak wawacanda dan saya menyapa di lift itu, huehuehuehue.

3:12 PM  

Post a Comment

<< Home