Scraps In Scraps Out

This is my Blog. There are many like it but this one is mine. My Blog is my best friend. It is my life. I must master it as I must master my life. Without me my Blog is useless. Without my Blog, I am useless (Jarhead)

Wednesday, December 31, 2008

Catatan si Roy II

Sudah larut malam dan mata itu masih saja nanar. Berkali-kali membuka-buka file yang berbeda untuk selalu berganti file yang lainnya. Klik open. Klik close. Klik buka. Klik tutup. Ada beberapa belasan file di folder yang sama. Kebanyakan JPG. File gambar wanita tanpa busana. Minimal minim busana. Gambar dua manusia yang bercengkerama. Ada peluk dan cium. Senyum tersungging sedikit di bibirnya, tepat dibawah kumis. Sekilas seperti ulet keket. Kumis yang membuat mimiknya seringkali culun.

Orang itu sedang bahagia karena masih saja dipercaya sebagai pakar ahli foto porno Republik Indonesia. Yang bahkan Ono Purbo, Jogiyanto HM, pun Romi Satrio Wahono tidak lebih sering muncul di media. Yang bahkan blunder ketololan tahun lalu dengan mengaku penemu lagu Indonesia Raya asli sudah dilupakan banyak orang. Yang bahkan mengatakan metadata adalah sesuatu hal yang sangat teknis cukup klik kanan di ACDC bisa membuat kagum banyak awam. Yang bahkan mengembalikan file terhapus cukup dengan software bajakan murahan bisa membuat dia dianggap pakar ahli telematika paling jagoan.

Tapi tidak ada yang membuat dia lebih bahagia ketika masih dijadikan referensi nasional foto porno yang membuat dia tak perlu bersusah-susah googling, masuk Kaskus atau menjadi member Blue Fame karena semua foto porno yang lagi hip akan dikirimkan ke dia atas nama meminta petunjuk. Semua foto porno seleb Indonesia itu tersimpan rapi, diurutkan berdasarkan abjad. Beberapa foto adalah favorit. Beberapa foto bahkan di zoom di bagian tertentu. Pertanda itu bagian favorit dia juga. Senang rasanya punya banyak bahan untuk onani. Mata itu masih saja nanar. Klik open. Klik close. Klik buka. Klik tutup. Crit.


Hey Roy !

Labels:

Sunday, December 14, 2008

Love Like Rockets (AVA, 2007)

Waktu itu jam 11 malem ketika gue baca sms dari temen gue bilang kalo tiket AVA udah abis. Posisi gue kira-kira di Nagrek, baru pulang dari Jogja, masih tiga jam-an dari Jakarta. Brengsek. Bukan buat temen gue itu tapi buat gue yang selau nunda-nunda beli tiket dari beberapa minggu yang lalu.


















Ah tapi gue gak akan menyerah begitu saja, pagi harinya gue langsung googling semua tiket box seluruh Jakarta, mencari yang terdekat. Gue telponin satu demi satu, beberapa masih ada (sayangnya festival) tapi hampir sebagian besar sudah tutup : mereka bilang tiket box sudah buka jam 2 di Senayan, silahkan beli di tempat yang sudah disediakan. Tapi gue pengennya tribun bukan festival – selain umur toh AVA bukan musik untuk moshing dan bodysurfing – karena berdiri umpek-umpekan sepanjang show artinya kehilangan momen merem melek menikmati ambience Star of Betlehem (yang turn out gak dimainin malam itu, sigh). Puji Tuhan Alhamdulillah akhirnya gue dapet di bu Dibyo, agak ilegal karena si mas-mas minta ketemuan di luar gedung, dia propose 450 sedang gue bersikeras eat my ass I have got festival already. Akhirnya kami sepakat 385, harga normal. Yeay. Padahal gue juga udah niat tetap akan mengambil kalau dia ngotot gak mau lepas. I am the negotiator.

Gue memang menggemari Tom Delonge sebagaimana River Cuomo, Bernard Summer, Freddie Mercury pun Paul McCartney. For me they are prophets, semua lagu mereka adalah bagus. Sejak tahun 1995 masa-masa album Budha dan drummer Blink 182 masih Scott Raynor. Tidak peduli (bagi beberapa scene indie) dianggap mendengarkan band-band sell out berarti tidak memiliki selera yang bagus. Pola pikir yang aneh, gue heran dengan orang yang ingin out of crowd : begitu sebuah musik atau band indie menjadi sell out maka segera dicap memalukan kalau sampai suka, karena sudah pasaran, sudah gak eksklusif lagi. Padahal kalau mau benar-benar indie, mereka harusnya membeli album-album pop daerah semacam Trio Ambisi, Ajo Andre Upiak Kamek atau Danny Pelo. Dijamin itu semua musik daerah yang orisinil dengan semangat juang indie yang recording sendiri. Lagipula dengan menonton band-band sell out artinya akan banyak ABG bertebaran. Sukur-sukur berpakaian minim. Tidak ada yang dirugikan. Sejak maghrib gue sudah sampai di tennis indoor Senayan yang lumayan padat, mobil gue parkir diujung yang sudah dekat ke stadion, agak deg-degan karena ada pertandingan bola. May the force be with my car. Gue berjumpa dengan Renata dan Windy - sepupunya – yang secara baik hati mau bertukar tiket ke tribun jadi gue selamat batal jadi freak in a gig nonton konser sendirian. Kita langsung aja masuk biar bisa dapet tempat strategis. Di festival masih lengang, baru sekumpulan ABG-ABG yang udah – mungkin dari sore tadi – ngetekin berdiri persis di depan stage. Sedang tribun tengah sudah mulai penuh. Backdrop AVA adalah semacam bendera Amerika, untung Roy Suryo gak nonton kalau gak bisa-bisa dia ngadu lagi. Juga ada beberapa kain panjang di bentangkan di langit-langit yang jadi seperti stripe, sangat Amerika sekali. Kita menunggu sekitar setengah jaman. Ada Eno Netral, tampan ganteng. Sama ceweknya, yang biasa aja (gak penting, skip).

Akhirnya satu persatu personil AVA muncul, si Tom sempat pemanasan sebentar dengan pose yang aneh seperti mau aerobik. Dodol. Malam itu dibuka dengan Call to Arms, anthem AVA di trailler I-Empire. Seperti yang sudah gue duga vokal Tom memang jelek kalau live, suara dia yang quacky memang hanya cocok untuk recording. Tapi siapa yang peduli. Aksi Tom juga gak seperti yang gue bayangkan setiap kali mendengarkan AVA sambil mati lampu dan make headset kenceng-kenceng kalau lagi stres. Gue membayangkan Tom di AVA akan berbeda dengan Tom di Blink. Sama halnya ketika dia mendadak keluar dari Blink yang sedang di puncak karir. Ketika his egocentric to deliver messages through music seperti Lia Eden yang kesambet jin Tomang. Juga sebagaimana dia kepikiran memakai sound gitar delay, nationalist, konsep dan ambience yang berbeda betul dengan Blink. Gue membayangkan dia akan berdiri elegan kalem ketika menyanyikan Love Like Rockets, Secret Crowds atau pun Heaven. Tapi ternyata tidak, masih Tom yang sama, masih pose, aksi konyol dan celotehan kasar yang sama. Hanya bedanya tidak ada Mark Hoppus saat itu. Ketika jeda Tom bawain cover There Is-nya Box Car Racer sama Reckless Abandon-nya Blink. Past good old days Tom. Sayang David Keneddy tampak beberapa kali mengalami masalah, setelan efeknya suka hilang. Efek delay khas the Edge U2 seringkali gak begitu kedengeran. Satu persatu single-single AVA mengalir (tidak ada Star of Betlehem tentu saja, padahal mau dekat Natal ya). Di awal interaksi Tom sedikit banget, jeda lagu ke lagu cuman sebentar, tapi mulai mencair di tengah-tengah show. Tradisi we want more yang sebenarnya sudah basi : ya iyalah kalo konser udah selese itu lampu akan nyala terang benderang, kalo setelah goodbye Jakarta dan masih gelap itu mah keliatan banget. Akhirnya di tutup dengan Heaven, konser AVA berlangsung cepat sekali, hanya satu jam kurang lebih. Orang yang gak ngefans sama AVA pasti akan menganggap show malam itu sampah tapi bagi gue Tom Delonge will always be Tom. Just like Cuomo or McCartney. Tom, Mark, Travis dan semua side project mereka akan selalu gue tunggu. Semoga saja Java Musikindo bisa membawa Plus 44 untuk kesempatan berikutnya.


Labels:

Thursday, December 04, 2008

The Gorgeousless Traveller (Jaya Pub : In Indie Scene, Nobody Superstar)

Gue sudah demam dua hari. Tetapi karena terlanjur berjanji untuk berjumpa kawan yang tertunda berkali-kali – dia baru pulang dari Oxford – tetap saja gue paksakan keluar malam senin itu. Malam yang seharusnya haram untuk keluar, yang akan jauh bermanfaat kalo stay di rumah guna menyiapkan mental hari senin besoknya. Gue hanya sedang kehabisan excuse.















Kebetulan ada White Shoes and The Couples Company (here after: White Shoes) di Jaya pub, jadi sekalian sajalah berjumpa dia disana, sekalian bersama Yudi Bo dan rekan. Jaya pub berlokasi di gedung Jaya di daerah Sarinah, gedung perkantoran yang sudah melewati masa keemasannya. Posisi Jaya pub ada di pojok depan area parkir yang bersebelahan dengan Kali Krukut. Dari luar penampilan luarnya Jaya pub ini tampak mesum dan murahan, apalagi dengan lampu kuning remang-remang yang membuat pub Dangdut Asmoro di Blora jadi tampak modern. Gue datang terlambat, Vincent Vega sudah membawakan lagu ketiganya. Tapi gue gak begitu serius untuk menyimak mereka karena terlalu sibuk mengamati dan menikmati ambience interior Jaya pub. Ini pub ternyata lumayan juga. Vintage yang orisinil. Maksud gue begini, kita bisa saja menemukan banyak kafe, pub atau tempat nongkrong yang beraksen retro di seantero Jakarta. Tapi Jaya pub ini sedikit berbeda, dia tidak berusaha sedikit pun untuk tampil retro atau vintage karena memang udah dasarnya pub jadul aja gitu. Sepertinya Jaya pub ini tidak mengikuti perkembangan jaman. Walhasil semua item dan ornamennya menjadi orisinil vintage, bukan retro yang dibuat-buat atas nama gaya interior. Ada bohlam lima watt warna-warni di dinding, juga diatas stage sebagai bukti nyata bagaimana pub ini bertahan tidak mengikuti perubahan trend interior. Dimasa itu memang lampu warna-warni ala Aneka Ria Safari sudah bergaya. Beberapa foto rocker wanita yang gak bisa gue kenali, poster foto model berambut megaloman dan pakaian safari kantor, kata-kata berusaha Inggris yang norak tapi malah jadi menarik, waiter yang sudah sepuh-sepuh, meja bilyard butut, terompet tukang roti dimana-mana, plakat-plakat yang mungkin seumuran sama gue (baca : 24 tahun. lol). Sepertinya kalau foto prewed disini suatu hari nanti ok juga nih (amin).

White Shoes lumayan meski gak didukung sound Jaya pub yang agak ngos-ngosan malam itu. Lagi pula tipikal musik White Shoes toh tidak memerlukan sound berkualitas prima, mereka memang sengaja mengambil sound-sound film roman lama. Saleh dan Sari tampil paling ekspresif. Meski sama-sama retro, White Shoes agak berbeda dengan Naif karena spirit retro yang dibawakan tidaklah sama. Malam itu lumayan padat tapi masih ok lah, maksud gue lo masih bisa jalan tanpa harus permisi berkali-kali. Agak padat memang, syukur-syukur lo bisa menyenggol susu kalau kebetulan agak sempit. Ternyata di antara hadirin ada Erlend Øye. Whitest Boy Alive kan memang baru manggung sehari sebelumnya di Bengkel Night Park. Menarik juga. Begini hebatnya Indie scene. Nobody is superstar. Mas Erlend begeng itu petakilan aja keliaran diantara kita, just like common people. Dan kita pun juga gak norak langsung minta tanda tangan foto bareng dsb. Oiya satu lagi, sepanjang White Shoes main, mas Erlend juga asik sendiri dengan dancing, lompat-lompat as if he do really a big fans of the band. Sebagai personel King of Convenience seharusnya dia GR ngerasa everybody looking at me and am cool, everybody staring at me and am cool, taulah gaya kebanyakan seleb karbitan Indo kalau lagi di mall. Sayangnya tidak, mas Erlend malah enjoy dengan tulusnya di Jaya pub malam itu. Dia appreciate musik apa pun yang dimainkan oleh siapa pun. Alih-alih merendahkan dia malah menikmati betul dengan ekspresif. Ahmad Dhani si banci sok sufi itu seharusnya malu. Musiknya yang baru dikenal seNusantara saja sombongnya sudah bukan main, begitu pula mukanya juga bukan main : bukan main perlu ditampol kanan kiri.

Setelah lagu ketiga Rock n Roll Mafia gue udah gak kuat lagi, dan memaksakan diri untuk segera pulang. Padahal kata si Bo ada surprise concert di akhir acara, Whitest Boy Alive main for free ! Tapi tak apa, gue juga tidak terlalu menggemari Whitest Boy Alive sebenarnya. One lesson to be learnt, betapa humble betul si mas Erlend Øye itu. Mas Erlend, saya bungkuk hormat untuk anda.





*) picture courtesy of www.farm3.flickr.com, yang asli masih nunggu dari Oxa.

Labels: