Scraps In Scraps Out

This is my Blog. There are many like it but this one is mine. My Blog is my best friend. It is my life. I must master it as I must master my life. Without me my Blog is useless. Without my Blog, I am useless (Jarhead)

Thursday, January 31, 2008

Soeharto

Soeharto wafat, mati, berpulang, meninggal, modar. Gak ada beda. Intinya jantung beliau udah gak kuat lagi buat mompa oksigen segar yang diangkut sel-sel darah ke seluruh penjuru tubuhnya : ték. Yang menjadi beda adalah ketika yang modar ini salah satu manusia paling penuh kontroversi di negeri ini.

Banyak yang menghujat tapi lebih banyak lagi yang memuja, seakan lupa hari-hari panas dan berdarah di bulan Mei 1998. Banyak juga yang lupa kalau sesaat setelah itu buru-buru berubah wujud jadi pahlawan Reformasi dan ikut pula menghujat Soeharto, yang sekarang (lagi-lagi) tanpa malu ikut memanfaatkan momentum naik daunnya Soeharto dengan ikut membela beliau, kita gak perlu sebut nama disini. Kondisi sekarang : mahalnya sembako, tempe yang menghilang, minyak tanah langka, banjir dimana-mana sedikit banyak membuat rakyat bisa dengan mudahnya memaafkan Soeharto dan bernostalgia haru biru mengenang masa-masa indah pembangunan PELITA ketika kaset NKOTB masih dua ribu perak, bensin masih dua ratus perak, Nike Force masih lima puluh ribuan dan somay gocap dapet tiga biji (biji = somay bukan biji lo).

Naif kalo dibilang Soeharto adalah pendosa murni, gak berjasa sama sekali. Naif juga kalo Soeharto terlalu dikultuskan, pahlawan nasional, bapak pembangunan sejati. Seriously, jasa terbesar beliau adalah ketika bisa menciptakan stabilitas politik pada tahun 1960an, pasca pemberontakan PKI. Dan juga stabilitas ekonomi pada tahun-tahun berikutnya. Baiklah, kalau ada yang bilang PKI itu rekayasa belaksa, kambing hitam atau apapun itu yang jelas saat itu inflasi lebih dari 600 %, ekonomi sulitnya setengah mati dan hanya masalah waktu aja untuk terjadinya riot dan chaos. Hal yang sama terulang pertengahan 1998, triggernya gak jauh-jauh dari susahnya urusan periuk dan perut : ekonomi susah. Demokrasi di negara dengan penduduk yang relatif belum terdidik, masih berkembang dan perut lapar adalah omong kosong. Bahkan sampai sekarang di Singapore yang udah maju pun demokrasi masih menjadi barang mewah.

Jangan anggap remeh prestasi stabilitas ini om, gak banyak orang bisa ngelakuin hal semacam itu (hal lain yang gue suka dari Soeharto adalah betapa concern-nya beliau sama petani dan nelayan). Bahkan para diktator di negara-negara Afrika pun gak mampu hingga detik ini, padahal kurang pelanggaran HAM macam apa lagi mereka dengan genocide-genocidenya. Gue setuju pelanggaran HAM Soeharto itu dosa besar, tapi bagi gue bukan itu yang terbesar dan anggap saja itu adalah harga untuk stabilitas acak-adut di masa-masa itu (tanpa mengurangi rasa hormat pada keluarga korban). Personal opinion, dosa terbesar Soeharto adalah rajinnya beliau memutus dan membunuh rantai estafet kepemimpinan, betapa banyak orang-orang hebat yang dibungkam pada masa Soeharto. Contohnya mereka-mereka yang dinamakan kelompok petisi 50. Hoegeng dan HR. Dharsono salah satu yang sangat gue sesalkan. Hal yang sama yang dilakukan Soekarno, terlalu tidak percaya dengan orang lain untuk memimpin dan menerima input orang lain.

Sayang anak memang halal hukumnya, terlalu sayang anak dibanding rakyat itu baru gak halal. Dan Soeharto melakukan kesalahan itu. Seandainya saja beliau berkuasa tidak terlalu lama, seandainya saja mau suksesi kasih jalan untuk pemimpin-pemimpin potensial lainnya, seandainya saja... ah yo weslah, udah kejadian ini juga. Bapak Soeharto, terima kasih atas jasa-jasa anda tapi maaf masih ada yang harus kami selesaikan agar semua harta-harta negara yang uda LO sikat gila-gilaan itu bisa dibalikin semua. Adil, jelas dan kelar. Toh ini juga supaya anda gak mati penasaran dan bisa tenang di alam baka sana. Sayonara Soeharto San !


Labels:

Friday, January 25, 2008

Legenda TransTV

Makin lama gue makin gak bisa melihat sisi baik rumah produksi sinetron-sinetron saat ini. Gak semuanya sih, ada beberapa rumah produksi yang bagus tapi seriously ada beberapa yang bener-bener gak jauh beda kelas dibanding tukang rujak mangga di belakang Landmark BNI: sing penting untung ndes, mau yang beli nanti pada sakit perut kek peduli setan abang (demi keamanan si abang tukang rujak mangga dengan terpaksa saya sebut saja dengan oknum TRM). Kalian pasti tahulah yang dimaksud dengan sinetron-maker kelas tukang rujak mangga itu tak lain dan tak bukan adalah si grup India bersodara (yang sekarang juga sedang giat-giatnya ngerusak perfilman Indonesia, setelah sinetron yang dulunya sempat bagus akhir 80an dan awal 90an sebelum dirusak sepertinya dunia film adalah target mereka selanjutnya, bisa dilihat dari baniir film-film horor produksi mereka). Serial Legenda di TransTV adalah bukti paling mutakhir kejahatan mereka di dunia hiburan Republik Indonesia.

Sebelumnya gue harus klarifikasi biar gak salah paham. Dalam menulis blog ini gue gak pernah mengikuti serial itu sumpah demi Alloh, demi Alloh sumpah, beneran gak nonton sumpah, gak lebih dari cuman selintas-lintas aja. Klarifikasi ini penting (tahukah kalian ada pandangan di kaum para lelaki kalau ke-gap nonton sinetron produksi grup India bersodara itu adalah suatu aib yang sangat memalukan, jauh lebih memalukan dibanding ke-gap ngoleksi foto-foto pose Ivan Gunawan). Ada beberapa legenda yang menurut gue ngasal parah ceritanya. Pertama tentang Reog Ponorogo, maksud hati sih berkedok sok nasionalis karena sepertinya episode itu sengaja diproduksi saat isu reog di bajak Malaysia lagi hot-hotnya, maka dieksploitasi-lah legenda Reog demi rating tinggi. Aneh, Legenda reog versi serial produksi MD Entertainment itu gak jauh-jauh dari : ada seorang cowok jahat sakti yang ngajak kawin cewek cantik, udah gitu doang. Padahal tidak seperti itu kisahnya, baik dari versi sejarah Demak Majapahit atau pun versi Babad Kelana Sewandana.

Legenda ngaco kedua tentang Gunung Bromo. Alih-alih mirip, kisah versi MD Entertainment ini lagi-lagi gak jauh dari cowok sakti (yang bernama Ki Bromo) yang pengen nikah sama cewek terus dikalahin sama cowok yang lebih sakti, dan (entah kenapa) untuk mengenang kejahatan Ki Bromo maka lokasi pertempuran mereka dinamakan gunung Bromo. Gila, ngaco berat, gak ada disebut-sebut tentang Joko Seger dan Roro Anteng disitu, yang awalnya mandul dan beranak banyak dengan syarat anak bungsu mereka harus dilempar ke kawah sebagai persembahan (karena itu hingga saat ini suku TENGGER, keturunan Roro ANTENG dan Joko SEGER memiliki ritual melempar sesaji ke kawah gunung Bromo). Haduh-haduh, logika dari mana ada monumen dibangun demi mengenang orang Jahat (si Ki Bromo tadi), keterlaluan sekali penulis skenarionya. Siapa pun dia sepertinya lupa kalo HM. Soeharto pun membangun Monumen Jogja Kembali untuk dirinya bukan untuk mengenang DN. Aidit atau Westerling.

Gue ngeliat pola kisah legenda buatan MD Entertainment ini serupa. Intinya cowok jahat sakti napsu ngajak nikah cewek cantik, lalu ada penolong yang diawalnya kalah sakti terus jadi lebih sakti terus ngalahin cowok jahat sakti diawal tadi (kalo pola Sinetron populer saat ini : cewek cantik lugu dan baik hati tapi miskin dan cowok ganteng tapi tajir abis). Grup India bersodara itu berhak dan boleh saja bikin sinetron sampah dengan bintang-bintang muda yang trend saat ini, even worse contek drama-drama Jepang dan Korea pun masih gak apa-apalah. Tapi mengeksploitasi dan merusak kisah-kisah legenda rakyat menurut gue udah keterlaluan. Okay, I just realised emang ada beberapa versi dalam setiap legenda tapi tetep aja pasti ada benang merahnya, sedang kisah Reog Ponorogo versi MD Entertainment itu bener-bener asal. Kenapa gue sadis make kata “eksploitasi” disini ? kenapa mereka kok bisa asal-asalan bikin serial legenda itu ? karena sebenarnya cukup dengan googling pun mereka bisa dapet kok semua kisah aslinya. Ini yang dinamakan prinsip ujung-ujungnya duit, prinsip low cost high profit (karena itu mereka lebih pantas disebut kukang rujak mangga daripada pekerja seni, murni mikir rating dan untung tanpa ada tanggung jawab sedikit pun terhadap seni, sama sekali !). Mereka dilema apakah akan mengangkat kisah-kisah legenda rakyat tersebut dengan setting asli atau setting masa kini (seperti film Romeo Juliet, Othello produksi Hollywood itu). Option pertama, kalau dengan setting asli, masa lalu, mereka akan kesulitan menyiapkan properti yang besar biayanya. Kalau biaya produksi mahal artinya profit bisa berkurang. Kalau option kedua, menerjemahkan dengan setting modern artinya mereka harus putar otak lebih keras dan kreatif abis-abisan untuk menerjemahkan agar semua setting masa lalu ada relasinya dengan masa kini dan make sense (seperti film Romeo Juliet, Othello produksi Hollywood). Maaf untuk option kedua ini, kreatifitas masih menjadi masalah terbesar dari rumah produksi grup India bersodara tersebut. Karena itu dipilihlah jalan tengah, setting masa kini tapi dengan kisah yang di modif abis-abisan. Gak heran ada tokoh yang make blangkon kuno, tokoh dukun dengan kostum norak mencolok (bahkan ki Kusumo dan Ki Gendheng pun gak akan PD make kostum seperti itu) pada saat yang sama ada sneakers Nike bertebaran disana-sini dan kaos Spyderbilt tapi tetep gak aja ada polisi masa kini tiap pembunuhan terjadi, settingan waktu bener-bener absurd, masa lalu gak masa kini pun gak.

Keliatannya sepele tapi yang jelas grup India bersodara itu udah ngerusak pelan-pelan cerita rakyat kita yang adiluhung (jie jie jadi pak guru Pancasila lagi). Misal kebayang gak kalo ada orang Malaysia yang nonton kisah legenda Ponorogo malam tadi, maluuuuuuuu, apa yang menarik dan bisa ditarik dari legenda tentang orang sakti belajar lebih sakti terus maksa cewek cantik nikah ? di mana penjelasan asal muasal bentuk barong macan merak tersebut ? masih jauh lebih baik versi kisah reog versi Malaysia yang bawa-bawa Nabi Sulaiman AS. Kebayang kalo adik-adik kita menonton dan beranggapan itu adalah kisah yang valid. Kebayang kalo kebiasaan seperti ini, mengangkat legenda-legenda rakyat ke TV secara asal-asalan, dimodif-modif seenak udel berlangsung selama sepuluh tahun ke depan ? Tentu aja grup India bersodara itu gak peduli. Bagaimanapun akhirnya di sisi lain mereka sangat cerdas, judul-judul kisah rakyat, urban legend lokal sudah pasti menjual dan membuat orang ingin tau yang artinya rating naik, perkara ternyata isinya ngaco dan ngasal ? ra perduli ndes

Labels:

Tuesday, January 22, 2008

Executive Musholla















Ada yang mengganggu setiap jalan di mall dan perlu sholat karena gak banyak mall di Indonesia yang ngehargain pentingnya musholla. Kadang gue bisa kumat mendadak rasis dan mangkel kalo nemuin musholla yang gak lebih baik dari gudang kucel di basement parkir paling bawah sebuah mall yang ironically megah dan mewah. Apalagi ini kejadian di sebuah negara yang mayoritas penduduknya 80% muslim. Pantes dong gue mangkel karena dulu pas di Manchester, di negara dengan mayoritas nasrani kita justru bisa nemuin musholla yang jauh lebih baik dan yang jelas lokasinya bukan di basement. Namanya multifaith prayer room, emang sih gak dedicated buat musholla doang. Multifaith karena berbagi sama Nasrani, Yahudi, Budha dan bahkan Sikh. Meski ruangannya kecil tapi dilengkapi dengan tempat wudlu dan berbagai pernak-pernik mulai dari petunjuk arah kiblat, holy bible, holy quran, sarung, mukenah, rosario sampe tasbih-tasbih Sikh gitu. Hebat.

Makanya gimana gak mblegedhes kalo di Indonesia malah susah. Coba, ada berapa puluh mall dan ITC sih di Jakarta ? bangunan beton yang udah ngorbanin abis-abisan jalur hijau itu ternyata juga udah ngorbanin kebutuhan umat muslim untuk sholat secara nyaman. Gue gak berhak generalise semua mall karena mall yang gue datengin biasanya itu-itu aja. Tapi yang jelas kebanyakan dari mall yang pernah gue datengin musholla itu adalah definsi untuk sebuah ruangan kecil sederhana di basement parkir paling bawah, pengap, karpet dan sajadah yang udah bau (kalo sukur-sukur dikasih), kipas angin tanpa AC, becek bekas air wudlu yang susah kering. Berani taruhan toilet di mall tersebut jauh lebih wangi dan bersih dibandingin mushollanya. Ngerasa aneh gak ? ketika lo mau beli kolor terbaru tokonya ada di lantai paling atas, mewah, lega dengan poster-poster model Victoria Secret® tapi giliran mau sholat lo harus ke basement parkir paling bawah wah wah (lebay) yang kadang harus disambung dengan tangga manual gak cukup dicapai dengan lift aja. Kadang kalo mushollanya udah that pathetic gitu bikin gue males sholat, dan PD jaya ngejamak di rumah nanti (tentu saja ini syariat ngasal).

Tapi gak sedikit juga mall yang punya musholla bagus kok. Khususnya akhir-akhir ini. Pertama yang gue tau di PS. Dulu paling enak kalo sholat di PS meski lokasinya masih di sebelah tempat parkir tapi masih ok-lah. Tipe musholla di Plasa Semanggi juga sama kayak di PS tadi, bersih dan nyaman hanya sayang masih di sebelah tempat parkir juga yang artinya waiting area-nya gerah karena udah diluar daerah AC. Trus waktu PIM II jadi ternyata mushollanya juga nyaman abis dan udah ada di dalam mall bukan di gedung parkir lagi tapi tempat wudlunya masih dikit jadi suka ngantri lama. Sekarang ini musholla paling enak buat gue masih di Senayan City, itu mall meski barang-barangnya harganya seanjing-anjing tapi mushollanya paling keren, enak, lega dingin, wangi, hebat pengelolanya *bungkuk hormat*. Manajemen gedung sepertinya sengaja ngemisahin musholla untuk pengunjung dan untuk pegawai (so-called executive musholla, asli gue sempet ragu-ragu gak PD buat masuk pertama kali, kirain tu musholla khusus untuk bos-bos doang, lagian namanya sok ok gitu pake-pake executive, gue mikirnya kayak executive lounge di bandara aja : minimal harus punya gold).

Musholla di mall sering gue jadiin salah satu alat bantu buat judging kalo lagi ta’ruf sama cewek (lambemu dep, muke tu muke), ummm ok ok bukan ta’ruf deh, pdkt bahsa pop-nya. Gini, kalo pas lagi jalan bareng di mall ada gak si dia (jie jie idep) sholat pas lagi waktu sholat. Gue jelas jauh dari alim, gak ada bau-baunya sama sekali. Bejat bangsat ? lumayanlah tapi et lis gue masih gak nyaman ngerasa gilti aja kalo gak sholat : the easiest way thanking to HIM for everything (FYI : temen gue Yudi Nugroho lebih parah tepat waktu-nya, meski nafsunya gede dan maniak bokep tapi beliau bener-bener gak bisa nunda-nunda sholat, he's obviously the best in this category). Dan sholat gue adalah sangat cepet (FYI : temen gue Yudi Nugroho masih jauh lebih cepet sholatnya, gue ngupil baru jadi nemu dua buah sama dengan dia udah kelar 4 rakaat), sampe kalo ada yang bawel “gila dep, lo udah kelar ? cepet aja sholat lo, gue kelar kencing lo juga kelar sholat” pasti gue selalu ngeles bijak diplomatis “Berisik ! gue tuh udah disuruh sholat sama mak gue sedari jaman TK, semua surat udah hafal di luar kepala”. Tapi ya itu tadi, kalo mall mushollanya kotor gue suka jadi males yang artinya gue gak akan bisa buat judging si kecengan tadi. (jie jie idep, mas-mas banget sih kecengan). Jadi gue pikir udah sepantasnya kalo semua pengelola mall lebih peduli sama kondisi musholla di gedung mereka, toh itu dalam rangka melayani konsumen mereka juga, sama halnya mereka bisa nyediaan toilet mewah canggih dengan urinoir otomatis jadi harusnya juga bisa dong buat nyediain musholla yang proper. Gak perlu mewah, cukup bersih aja deh. Dan plis jangan di basement parkir paling bawah, plis. Karena ini urusannya dengan kenyamanan waktu lagi laporan ke KOMANDAN paling tinggi.


Labels:

Monday, January 14, 2008

Tempe

Kalau tempe itu adalah cowok pasti sekarang lagi belagu-belagunya, seandainya cewek lagi ganjen-ganjen dan sok laku gitu. Bertahun-tahun tempe itu udah jadi lauk rakyat yang murahan mendadak jadi barang langka di pasaran gara-garanya kedele - bahan baku utama tempe - harganya naik lebih dari 150%. Tapi asli, gue juga baru tau kalo tempe itu ternyata make kedele import tho. Woohoo, ternyata selama ini tempe yang kita makan gak kalah elit dengan makan di Sizzler yang suka ngebeda-bedain antara sirloin lokal dan sirloin impor. Serasa gak mau kalah sama steak yang pake istilah impor-imporan, tempe pun juga berbahan baku kedele impor dari Amerika, beuh gaya abis.

Perasaan sejak jaman SD kita udah di propaganda “Hey anak-anak, negara kita adalah negara agraris sedang Amerika dan Eropa adalah negara industri, dari situ terjadilah kerjasama yang menguntungkan dan kita saling membutuhkan”. Negara agraris mbahmu ! sekarang semuanya serba impor aja gitu, bahkan beras pun kita tak malu impor dari Vietnam, negara yang masih serius sibuk berperang sementara kita udah bisa punya stadion terbesar dan tercanggih pada masanya. Selain istilah Negara agraris juga ada propaganda “Hey anak-anak, kita adalah bangsa maritim, nenek moyang kita konon pelaut ulung”. Bangsa maritim untumu mrongos, makin hari nelayan sepanjang pantai utara Jawa makin sekarat penghidupannya, dihantam harga solar yang selalu melambung, langka ditambah lagi cuaca yang gak bersahabat. Boro-boro bisa balik modal setiap kali melaut yang ada mereka lebih sering merugi dan cuman bikin utang mereka numpuk yang gak bakal lunas tujuh turunan.

Jujur aja, nelayan dan petani adalah salah dua profesi yang gak dihargai di negeri ini (dari sekian banyak profesi lain sejenis macam guru, polisi, tentara, dokter) dengan pupuk yang mahal, bibit yang susah didapat, permainan kelas tinggi, harga komoditi yang selalu anjlok pas panen raya, bahan bakar yang ajaib suka ngilang, prosedur distribusi yang belibet. Ironisnya, profesi terenak on GOD’s earth : anggota DPR, malah sedang asik-asik berhitung-hitung ‘upah’ mereka untuk setiap undang-undang yang mereka hasilkan. Seolah-olah membuat undang-undang itu gak termasuk salah satu job desc mereka sehingga wajib dihargai dengan pendapatan tambahan (dasar gerombolan yang aneh dan muka badak). Gak heran kalo makin sedikit yang minat jadi petani, mending ke Jakarta kerja serabutan hidup serabutan daripada di kampung : serabutan mati. Gak ada proteksi dan endorsement supaya orang-orang mau jadi petani dari negara. Gak bisa gak, sudah seharusnya kita konsisten mau jadi negara agraris apa negara industri atau malah negara konsumsi ? Supaya semua kebijakan bisa terintegrasi dan terarah jelas ke satu titik. Lah ini ngemengnya negara agraris tapi sok-sokan bikin industri pesawat terbang ? ngakunya negara agraris tapi sok-sok mau bikin mobil nasional ? Yang basic-basic dulu aja om gak usah muluk-muluk mau jadi bangsa high-tech. Kalau makan tempe tahu aja udah gak bisa trus mau makan apa lagi bangsa ini ? (jie jie bahasa gue kayak pak guru Pancasila)

Labels:

Tuesday, January 01, 2008

The Gorgeousless Traveller (Scotland II : Edinburgh)

…Sejam lagi masuk tahun baru 2007: kita kedinginan di mobil yang jalannya lelet karena ujan dan kabut, lembab, laper, bau asem, gelap sepi, middle of nowhere karena Edinburgh udah sejam jauhnya dibelakang sedang Newcastle masih lumayan jauh didepan, Angel of The North yang harusnya keren pun keliatan gothic pas kita lewatin (bisa jadi kita satu-satunya mobil yang tolol nekad jalan nyusurin highway A1 pesisir timur UK radius 30 mil di malam badai itu), radio cuman nyiarin cancellation – dengan reporternya yang sok heboh – di hampir semua new year eve di seluruh UK. Gue yang harusnya giliran jadi navigator nemenin Raihaan malah terkantuk-kantuk sesekali bablas, ngiler mangap ngeces dengan posisi kepala mendongak. Jelas acara tahun baru kita udah gagal total gara-gara cuaca busuk yang menghantam seluruh UK kecuali London
















Belum ke Scotland kalau belum ke Edinburgh, ibukota Scotland yang meski kalah besar di banding Glasgow tapi kota tuanya menurut gue yang paling keren di seluruh UK. Edinburgh termasuk kota turis nomor dua setelah London, apa-apa jadi relatif mahal disana karena itu kita milih akomodasi di Glasgow aja yang jaraknya hanya kurang sejaman dari Edinburgh. Scotland adalah bangsa dengan pride yang tinggi, khususnya sejak England menginvasi Scotland tahun 1296 dan sampai 1707 ketika akhirnya Scotland bergabung menjadi bagian dari United Kingdom bersama Wales dan Northern Ireland. Meski begitu mereka tetap bangga dengan sejarah besar mereka, keliatan jelas banget. Edinburgh castle contohnya, kastil sekaligus museum militer sejarah panjang perjuangan mereka. Sebagai ABRI wanna be, jelas Edinburgh castle jadi tujuan utama dan pertama gue.

Edinburgh
castle lokasinya di puncak bukit karang di tengah-tengah kota: anggun, gagah dan serem. Gue yang biasanya kurang tertarik sama berbagai kastil selama di UK (habis hampir semuanya mirip serupa) tapi gak untuk Edinburgh castle. Kastil ini bener-bener kayak yang ada di komik-komik petualangan Johan and Pirlou jaman gue SD (lo yang anak 80an pasti tau komik karangan Peyo ini, itu lho yang ngarang Smurf). Landskapnya yang berlapis-lapis khas benteng buat pertahanan. Yang jelas lokasinya dipuncak bukit karang bener-bener strategis. Di dalam kastil ada banyak bangunan yang sekarang tentu aja udah di alihin jadi museum. Gue ngiler berat ngeliat segala macem pernak-pernik dan sejarah militer Scotland. Heran kenapa di negara maju museum kok bisa menarik dan rame kayak Dufan, beda jauh sama di Indonesia. Keliatan banget mereka menghargai betul jasa-jasa pahlawan mereka (jie jie bahasa gue kayak pak guru Pancasila) dari kondisi yang sangat-sangat well maintenanced. Kadang gue rasa Indonesia dikutuk gak bakalan maju-maju selama masih tetep cuek, gak ngehargain dan gak aware sama segala hal-hal yang berkaitan dengan sejarah perjuangan bangsa kita dulu (jie jie bahasa gue kayak pak guru Pancasila lagi). Di Indonesia museum itu identik dengan tempat yang garing, gak terawat, sepi dan paling mentok cuman bagus buat lokasi foto prewed doang atau gak studi tour-studi tour anak SD yang dipaksakan. Duh, liat aja kalo gue punya anak entar dijamin bakal gue cekokin budaya mencintai museum sedari dini (pesan sponsor: hello, anybody want to raise my baby ? ). Sehari rasanya kurang buat namatin setiap detail kastil ini. Parah, segala sesuatunya rapi teratur, fungsional dan well organised, satu hal kenapa gue suka army things.
















Oya, tepat dibawah bukit
Edinburgh castle ada West Princess St Garden, jalan paling eksis di Edinburgh. Kita datang ke Edinburgh pada waktu yang lumayan tepat meski kehilangan festival-festival yang kebanyakan jatuh pas summer tapi masih ada Hogmanay (istilah new year untuk Scottish) yang berpusat di Princess St ini. Tapi waktu itu masih tanggal 30, sedang party gede-gedean di sepanjang Princess St area baru digelar besoknya. Dari kastil, kita sempetin jalan-jalan di sekitaran Princess St, kebetulan ada pasar malem di tamannya. Sumpah ! tanggal 30 waktu itu cuaca masih cerah abis-abisan, cuman sempet ujan gerimis sedikit pas kita mau cabut ke Glasgow buat check in, suatu hal yang bakal vice versa besoknya. Tapi kita udah exicted buat balik lagi ke Edinburgh besok sore demi New Year Eve, kapan lagi liat festival Hogmanay terbesar di dunia. Ternyata keluar dari Edinburgh buat nyari highway M8 ke Glasgow tanpa GPS susahe pol, ada kali kita sejaman muter-muter lost gak bisa nemuin jalan ke M8. Pertama kita gak bawa GPS, kedua bodohnya juga gak bawa map Edinburgh, ketiga udah malem jadi susah baca direction sign, ke empat ujan aja gitu bikin males. Untung Edinburgh enak kotanya jadi ya kita sekalian nyasar-nyasar sekalian juga liat-liat. Sampe akhirnya kita nemuin juga M8 dan segera ngebut ke Glasgow (kata temen gue, karena gue udah tidur seperti biasa T_T). Akomodasi kita di Glasgow menurut gue adalah yang paling proper kalo gak bisa dibilang mewah. Apartemen dua kamar fully furnished. Kalo lo rajin browsing kadang suka beruntung bisa nemu apartemen-apartemen kosong yang disewain sama pemiliknya (yang tajir) buat traveler dengan harga murah abis. Dibanding youth hostel kami sewaktu di Aberdeen apartemen ini mewah banget, lengkap dengan TV LCD gede, dua bed empuk dan yang jelas lega abis. Nemuin alamat apartemen ini juga butuh perjuangan lagi, karena kita peta buta tanpa GPS dan printed map.
















Besoknya, tanggal 31, kita sengaja bangun pagi mau nyempetin ngabisin seharian di Glasgow sebelum ke
Edinburgh lagi. Kebalikan dari Edinburgh, gue justru kurang suka Glasgow, kotanya agak industrial dan gak menarik sama sekali (subjective opinion). Sampai-sampai kita bingung mau kemana hari itu. Pagi itu udah mulai hujan, kalau bukan karena jam check out yang terbatas gue lebih prefer buat stay di 'apartemen mewah kami’. Kami mutusin buat main ke Glasgow Science Park (sounds weird for old ‘om’ like us went to kiddie park) dan lebih kurang kerjaannya lagi kita malah nonton a Night in the Museum buat ngabisin waktu (pinter abis, jauh-jauh ke Glasgow malah nonton bioskop). Akhirnya sore dateng juga dan kita langsung kembali ke Edinburgh, kali ini lebih mudah karena kita masih hafal jalannya. Tapi cuaca makin kancut, ujan masih aja dan makin malem justru makin deres. Udah kadung basah sampe Edinburgh, kita tetep ngotot buat ke Princess St. Dari parkiran mobil ujannya makin gak lucu, jaket gue mulai basah kebles, anginnya mulai nyolot. Outlet-outlet fastfood makin sesak dan gak ngebolehin dine-in kudu take-away secara banyak yang ngetrik buat berteduh mure meriah. Bodohnya: kita masih kekeuh bertahan di Princes St berharap siapa aja tau ujan mendadak brenti. Tapi yang ada ujan makin deres dan anginnya makin gila. Kalo di kartun-kartun ada adegan orang susah jalan karena ngelawan angin sampe nyaris bisa kedorong kalo posisi badan gak miring ke depan, nah gue bener-bener ngalamin kondisi itu. Baiklah, ujan dan angin yang makin kenceng, perut makin laper dan kita tanpa payung pun mantel aja: jenius pintar abis kau nak.
















Makin lama kita makin realised New year celebration gak mungkin bakalan ada. Cuaca makin nyolot dan genangan air mulai kebentuk dimana-mana. Akhirnya kita putusin dengan berat hati kalau kita juga harus cabut dari Ediburgh, planning kita ngabisin New Year di Edinburgh jadi kita gak booking akomodasi apa pun malam itu dan kita gak mungkin nongkrong ujan-ujanan do nothing nungguin pagi. Plan B, kita cabut ke Leeds malam itu juga, menembus cuaca jelek dan badan lumayan basah kuyup gak pewe abis. Sial sial, berantakan semua, gagal liat party yang termasuk terbesar di UK, gagal ngeliat fireworks di negeri orang secara langsung, gagal liat scotish-scotish mabok masal. Dan kisah selanjutnya adalah prolog postingan di atas tadi…
















Labels: